Kitab Perjalanan

Minggu, 30 Mei 2010

Setelah sekian lama mundur dari dunia tulis menulis, sampai juga akhirnya pada saat2 rindu ingin menulis kembali dengan kemampuan yang seadanya ini. Blog lama sudah hilang ditelan kenangan (lupa password). Terakhir kalinya mengeluarkan segala kemampuan menulis pada saat pengerjaan tugas akhir S1 dulu. Sudah enam bulan yang lalu. Sehingga efeknya, entahlah, mungkin karena rasa jenuh yang berat ngerjain TA, akhirnya otak ini sudah lebih dari cukup menghabiskan masa2 refreshing. Kebablasan malah. Dan berawal dari tugas pembuatan kajian ilmiah urusan kerjaan kantor beberapa hari yang lalu yang memaksa penulis untuk berurusan dengan layar komputer berjam-jam seperti telah membangunkan kembali hasrat tuk menulis. Akhirnya lahirlah personal blog yang baru ini. Dari dulu ingin sekali bisa mengejawantahkan tiap sensasi yang meloncat2 di kepala ini pada sebuah tulisan dengan baik dan benar. Tapi selalu saja jari2 ini menekan tuts keyboard yang menelorkan barisan kata-kata basi dan menjemukan, mungkin.
Ide-ide yang terlintas di kepala ketika mengomentari lingkungan sekitar yang bergerak seolah semaunya, kadang hanya lewat begitu saja. Solusi2 yang berjam-jam direnungkan, gagal direkam dalam sebuah dokumentasi yang baik, lalu menjadi sia-sia. Paling tidak itulah yang melatarbelakangi dibuatnya blog ini. Dengan harapan ketika saatnya nanti penulis mati, toh tulisan tak akan pernah mati. Menjadi batu nisan yang sesuai malah. Apalagi, sebelum mati-pun, melihat perkembangan pola pikir, sidut pandang, maupun ideologi pribadi di masa-masa yang akan datang tentu akan memiliki banyak manfaat karena bisa sebagai bahan instropeksi.
Mungkin satu hal yang sampai sekarang membuat penulis khawatir, tidak selamanya penulisan ide di blog akan berdampak positif bagi penulisnya. Karena tulisan bisa lebih jauh menggambarkan karakter seseorang daripada tampilan fisiknya. Orang-orang akan membuat kesimpulan dini tentang karakter penulis dari beberapa baris tulisannya. Lalu penilaian dengan basis baik-buruk dengan mudahnya ditentukan. Walaupun tentu saja, itu tak selalu benar.

Jumat, 28 Mei 2010

Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu

Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Ibu jadilah hakim yang syadid, yang
besi, bagi anak-anakmu.

Jika kutulis ini sebagai tulisan netral,
pengadilan akan empuk. Setiap kata
dari beribu bahasa bisa dipakai untuk
mementaskan kepalsuan. seratus ahli
penyusun kalimat bisa memproduksi
puluhan atau ratusan ribu rangkaian
kata yang bebas dari kenyataan dan dari
diri penyusunnya sendiri.

Kebebasan itu bisa sekedar berupa
keterlepasan kicauan intelektual dari
dunia empiris, tapi bisa juga
merupakan kesenjangan antara sema-
ngat ilmu—yang di antara keduanya
membentang kemunafikan, in-
konsistensi atau bentuk-bentuk
kelamisan lainnya.

Syair tidak bertanya kepada penyairnya.
Ilmu tidak menguak ilmiawannya.
Pembicaraan tidak menuntut
pembicaranya. Tulisan tidak meminta
bukti hidup penulisnya. Ide tidak
kembali kepada para pelontarnya.
Ibu yang duduk di hadapanku, ini
adalah kritik anak-anakmu sendiri.
Allah melaknat orang yang mencari
ilmu untuk ilmu.Al-‘ilmu lil-‘ilmi.

Ilmu menjadi batu, dan para pencari
ilmu menyembah bau-batu, berhala-
berhala yang membeku di perpustakaan
dan pusat-pusat dokumentasi serta
informasi.

betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan kepada
museum apapun, melainkan kepada apa
yang bisa dikerjakan hari ini oleh para
penulis di lapangan, bukan di
kahyangan.
Ibu, tamparlah mulut anak-anakmu.
-EAN-

Doa Ibu tak Pernah Ganti

Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Ibu tak bisa mati dalam hidupku.
Sampai larut malam usia wadagku
nanti, Ibu memanggang cintaku.


Pandangan mata Ibu tak menagih
apapun. Tapi aku akan menyicil bayar-
an demi bayaran, dalam perdagangan
dengan Tuhan yang aneh.


Doa Ibu tak pernah ganti. “Allah
perkenankan dan kurung anakku dalam
ijaah-Mu untuk berdiri membela kaum
fakir miskin.Allah, istaqim aladi,
tegakkan kaki anakku.Allah nawwir

qalbuhu,cahayai hatinya. Allah pe-

lihara imannya. Isikan tawakkal dan
sabar di dadanya. Allah penjaga waktu
dan ruang. Allah pengangon hari dan
malam.Alladzi la tudrikuhul-abshar

wa-huwa yudrikul-abshar.Allah yang
tak terlihat, yang melihat, yang me-
nyediakan segala hal tak terduga....”

Doa Ibu mengangkat tanganku untuk menampar mukaku sendiri yang hina. Doa Ibu lugu dan sungguh-sungguh. Ibu tak tahu slogan, dan manusia tak
bisa menyelenggarakan pameran
apapun di hadapan Tuhan. Doa Ibu
memantulkan hidup Ibu. Kata-kata ibu
memproyeksikan keringat Ibu.

Ibu duduk di hadapanku. Desa kita dan
dunia berkecamuk di antara kita.
Airmuka Ibu selalu bertanya apakah

anak-anak Ibu bukan beberapa lembar
daun kering yang melayang-layang
disebul angin. anak-anak Ibu harus
menjawab, dan anak-anak Ibu belum
makin mampu untuk menjawab.
-EAN-